BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Riddah yang sarat dengan muatan diskriminatif tidak mampu menampakkan keshalehan individu
sebagai muslim yang senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Penghargaan
Islam terhadap hak-hak dasar telah mendapat legitimasi oleh Islam sendiri.
Agama secara komprehensif dipahami sebagai ekspresi dari kebebasan nurani dan
kemanusiaan secara universal. Dengan demikian konsep riddah mengalami kerancuan
pemahaman.
Di satu sisi, literature fikih mengungkapkan
hanya sebagai perbuatan pidana (jarimah), yang dikenakan sanksi hukuman had.
Disisi lain hubungan Islam dengan hak-hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan,
keduanya sama-sama menghormati hak dasar yang dimiliki manusia termasuk
menganut salah satu agama yang diyakininya.
Perbuatan
seseorang yang hanya terbatas riddah tanpa adanya unsure desersif, maka
perbuatan tersebut termasuk dalam manifestasi dari kebebasan beragama.
Sebaliknya jika riddah dilakukan dan ada unsure desersif atau mengganggu
ketentraman masyarakat serta dibarengi delik penghinaan terhadap agama tertentu
maka Hukum Islam menganggap perbuatan tersebut ke dalam suatu jarimah dan
pelakunya dapat diberikan sanksi. Perbuatan riddah dalam pemikiran kontemporer
merupakan hak asasi manusia yang keabsahannya dijamin al-Qur'an, oleh karena
itu perbuatan seseorang yang semata-mata riddah tidak dianggap sebagai delik.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian latar belakang permasalahan maka dapat ditentukan rumusan masalah dari
pada jarimah riddah/Murtad seperti ini :
1.
Pengertian jarimah riddah/ murtad ?
2.
Unsur-unsur dan Pembuktian jarimah riddah/ murtad ?
3.
Sanksi jarimah riddah/ murtad ?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui pengertian jarimah Riddah
secara bahasa dan istilah
2.
Mengetahui unsur-unsur dan Pembuktian
jarimah Riddah
3.
Mengetahui Sanksi jarimah Riddah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riddah
Riddah menurut bahasa yaitu الرجوع
artinya kembali dari sesuatu, sedangkan Riddah menurut istilah syara
yaitu : kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat,
perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan yang membuat pada
kekafiran.(al-tasyri’ al-jina’i al-islam,abdul qodir audu’ah :706)
Firman
Allah dalam al-Quran :
`tBur ÷Ïs?öt öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZÏ ôMßJusù uqèdur ÖÏù%2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ( y7Í´¯»s9'ré&ur Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygÏù crà$Î#»yz ÇËÊÐÈ
Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.
Hadist
Rasulullah SAW:
من
بدل دينه فاقتلوه
Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah (HR.Bukhari
Muslim)
B.
Unsur-unsur
dan pembuktian Riddah
Unsur-unsur Riddah ada
dua macam yaitu :
1.
Keluar
dari agama islam (الرجوع عن الا
سلامي)
2.
Ada
i’tiqad tidak baik (القصدالجنائي)
Dalam kitab al-tasyri’ al-jina’i al-islam disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan keluar dari agama islam yaitu meninggalkan keyakinan
akan agama islam, hal tersebut terbagi pada tiga yaitu melalui perbuatan,
ucapan, dan i’tqad.
a.
Murtad
dengan perbuatan
Yang di maksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan
yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib
dengan menganggapnya tidak wajib, baik dengan sengaja maupun dengan
menyepelekannya. Seperti contohnya meminta rizki dengan cara menyembah kepada
pohon yang dianggap keramat, jelas-jelas hal tersebut dikatagorikan kepada
murtad dengan perbuatan karena sudah menyekutukan Allah, karena tidak satupun yang wajib dipinta untuk
memberikan riszki selain Allah SWT,dengan sifatnya AR-RAZAK(yang maha
memberi rizki), selain dari pada contoh tersebut ada pula yang termasuk murtad
dengan perbuatan yaitu menyembah bulan atau matahari dan berbuat zina dengan
anggapan bahwa zina itu bukanlah perbuatan yang haram.(al-tasyri’ al-jina’i
al-islam,abdul qodir audu’ah :707)
b.
Murtad
dengan Ucapan
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti
menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak
dilarang.
c. Murtad dengan
I’tiqad
Adapun murtad dengan itikad adalah
itikad yang tidak sesuai dengan akidah Islam, seperti beritikad kekalnya alam,
Allah itu sama dengan mahluk. Sesungguhnya itikad an sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan
dalam bentuk ucapan atau perbuatan,berdasarkan hadist Rasulullah SAW :
ان الله تجاوز عن
امتى ماوسوست اوحدثت به انفسها مالم تعمل به او تكلم
“ sesunggunya allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang
menggoda dan begelora dalam jiwanya selama belum di amalkan atau dibicarakan”.
(HR Muslim dari Abu Hurairah).
Dengan demikian orang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan
iktikad yang bertentangan dengan Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan di
dunia secara lahiriahnya tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan
hukuman. Adapun di akhirat ketentuan dan urusannya diserahkan kepada ALLOH
subhanahu wa ta ‘ala. Apabila iktikadnya itu telah diwujudkan dan dibuktikan
dengan ucapan atau perbuatan maka ia sudah termasuk murtad.
Anak dari yang murtad, baik yang murtad ibu/bapaknya tetap anak
muslim. Akan tetapi setelah dewasa ia harus menyatakan agamanya, sedangkan
anak yang di kandung dan dilahirkan oleh orang murtad untuk
selamanya di hukumi sebagai anak kafir.
Suatu prinsip yang di pegang oleh imam Abu Hanifah, Imam Safi’I,
Imam Ahmad, dan Zaidiyah bila seseorang ibu atau bapak masuk islam, maka
anak-anaknya yang masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi, Imam Malik
berpendapat bahwa agama anaknya mengikuti agamam bapaknya. Artinya, jika
bapaknya islam, maka anak-anaknya yang masih kecil di hukumi muslim. Namun
demikian, tidak halnya ibunya yang muslim..( Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh
Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 1997, hal. 116)
C.
Sanksi
Jarimah riddah
Sanksi
bagi jarimah riddah ada tiga macam yaitu :sanksi pokok,penggani, dan tambahan,
1.
Sanksi
pokok
Hukuman pokok
jarimah riddah yaitu hukuman mati seseuai dengan hadis Rasulallah SAW :
من
بدل دينه فاقتلوه
Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah (HR.Bukhari
Muslim)
Sebelum
dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk
bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3
malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk
bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu
selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Tobatnya orang yang murtad cukup
dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa
apa yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam,( Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi
Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 117)
2.
Sanksi pengganti
Hukuman pengganti diberikan apabila
hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti itu berupa ta’zir.
3.
Sanksi Tambahan
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya hak
terpidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bila orang murtad
ituj meninggal, maka hartanya menjadi harta musyi,
yaitu tidak dapat diwariskan, baik
kepada orang muslim maupun non muslim. Menurut Ulama lain, harta itu di kuasai
oleh pemerintah dan menjadi harta fay’.
Menurut mazhab Hanafi, bila harta itu didapatkan pada waktu ia muslim, maka di
wariskan kepada ahli warisnya yang muslim dan harta yang didapatkan ketika ia
murtad, maka hartanya menjadi milik Pemerintah.
Factor penyebab perbedaan mereka adalah perbedaan penafsiran mereka
terhadap hadits :
لايرث المسلم
الكافر ولايرث الكافرالمسلم
“
orang kafir tidak dapat mewaris harta pusaka orang muslim dan orang muslim
tidak dapat mewaris harta pusaka orang kafir” (HR
Bukhari Muslim).
Alasan imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad sehubungan dengan
ketidakbolehan harta orang muslim di wariskan kepada ahli warisnya yang non
muslim karena ia termasuk kafir, sedangkan ahli warisnya muslim. Sedangkkan
alas an imam Abu hanifah dan Sahabat-Sahabatnya sehubungan dengan kebolehan
harta orang murtad di warisakan kepada ahli warisnya yang muslim adalah karena
harta orang murtad itu disamakan dengan harta yang meniggal.
Menurut Zaidiyah, Abu yusuf, Muhamad dan Zahiri, harta orang murtad
itu dapat diwariskan kepada ahli warisnya yang kafir. Tentu saja, bila ada.
Tidak menjadi harta fay’ , dan tidak
diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim.
Berkenaan dengan hukuman tambahan, berupa hilangnya hhak mengelola
harta, para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat yang rajah dalam mazhab
Hanafi, Syafi’I, dan hambali bahwa perbuata orang murtad terhadap hartanya,
baik yang di dapat sebelum atau sesudah murtad, tidak mempunyai akibat hukum.
Artinya, bila ia menjual atau membeli harta dengan harta miliknya, maka jual
belinya tidak sah.
Apabila ia kembali kepada Agama Islam, maka hak tasharufnya menjadi
sah, sedangkan apabila ia mati dalam keadaan murtad maka maka hak tasharufnya
menjadi batal. Menurut Abu Yusuf dan Muhamad, tasharuf orang murtad tetap sah.( Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh
Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 1997, hal. 120)
BAB III
KESIMPULAN
Jarimah riddah yaitu perbuatan kembali dari agama Islam kepada
kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan
ucapan yang membuat pada kekafiran,
Unsur-unsur jarimah riddah meliputi,meninggalkan keyakinan agama
islam dan adanya I’tiqad yang tidak baik
Sanksi atau hukum untuk jarimah riddah terbagi pada tiga fase yaitu
sanksi pokok,sanksi pengganti dan sanksi tambahan
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi
Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada
Abdul Qodir Audu’ah al-tasyri’
al-jina’i al-islam, jilid 2
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta.
Sinar Grafika.
http://ngobrolislami.wordpress.com/2011/02/20/konsep-hukum-pidana-islam-hukuman-untuk-jarimah-riddah/